Kita ketahui bahwa Ibu Kartini pada usia 25 tahun 4 hari meninggal dunia beberapa saat setelah melahirkan seorang anak di rumahnya dengan pertolongan seorang dokter berkebangsaan Belanda. Ibu Kartini mengalami komplikasi pascapersalinan dan tidak dapat ditolong dan diatasi, baik oleh dokter maupun teknologi kedokteran saat itu. Kematian Ibu Kartini tercatat sebagai angka kematian ibu (AKI) pada saat itu.
AKI di Indonesia saat ini menjadi isu yang sangat serius dan masih tertinggi di Asia. AKI Indonesia tahun lalu adalah 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007) dan, konon, angka ini tidak memasukkan beberapa AKI di Indonesia bagian timur dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan perhitungan ini, diperkirakan setiap jam dua perempuan mengalami kematian karena hamil atau melahirkan akibat komplikasi pada masa hamil atau persalinan. AKI pada proses persalinan dan kehamilan cukup tinggi. Bahkan, target dari Mil lennium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan AKI di Indonesia sebanyak 75 persen pada 2015. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009, ditargetkan pencapaian AKI sebesar 226/100.000 kelahiran hidup pada 2009. Dengan demikian, ditargetkan penurunan hingga 102/100.000 kelahiran hidup pada 2015.
Makna dari angka kematian ibu dapat diartikan bahwa, pertama, bayi yang ibunya meninggal dinyatakan mempunyai harapan hidup selama kurang dari dua tahun. Kedua, dampak psikis dan ekonomis bagi keluarga miskin, keluarga kehilangan ibunya yang diharapkan dapat merawat kebutuhan fisik, emosi keluarga, dan tenaga kerja. Ketiga, status kesehatan perempuan Indonesia rendah dan buruk. Keempat, hak dasar kesehatan perempuan dan bayinya tidak terpenuhi. Kelima, hak hidup perempuan dilanggar.
Enam penyebab tingginya angka kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan, eklampsia, aborsi tidak aman (unsafe abortion), partus lama, dan infeksi. Faktor lain yang meningkatkan AKI adalah buruknya gizi perempuan, yang dikenal dengan kekurangan energi kronis (KEK), dan anemia. Perempuan yang menderita KEK pada usia 15-49 tahun mencapai 15 persen, sedangkan pada remaja putri mencapai 37 persen. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sebanyak 57 persen remaja putri atau perempuan calon ibu menderita anemia. Dengan kemajuan teknologi kedokteran saat ini, seharusnya perempuan hamil serta perempuan melahirkan dan pascapersalinan tidak perlu meninggal karena melahirkan.
Salah satu alasan yang melatarbelakangi perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan adalah memperbaiki status kesehatan perempuan yang masih rendah dan terpuruk, di antaranya dengan mencantumkan kesehatan reproduksi sebagai bagian dari kesehatan secara umum. Dengan demikian, juga merupakan hak asasi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam Rancangan Perubahan Undang-Undang Kesehatan yang diusulkan atas inisiatifnya oleh DPR itu, ditambahkan satu bab baru yang belum pernah diatur sebelumnya, yakni tentang kesehatan reproduksi.
Pengaturan tentang bab baru mengenai kesehatan reproduksi ini termasuk pengaturan tentang keluarga berencana didukung sepenuhnya oleh pemerintah sebagaimana tercantum dalam Daftar Inventarisasi Masalah RUU Kesehatan yang diserahkan kepada Komisi IX DPR RI. Selama lebih dari tujuh tahun terakhir perubahan Undang-Undang Kesehatan dibahas di DPR oleh Pemerintah RI ke Menteri Kesehatan bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Komisi IX DPR. Yang artinya, RUU Kesehatan telah dibahas dalam dua periode DPR RI hingga saat ini.
Sangatlah disayangkan apabila kelambanan proses legislasi perubahan UU Nomor 23 Tahun 1992 berlanjut terus hingga berakhirnya masa kerja DPR tahun depan. Soalnya, kondisi kesehatan bangsa kita masih terpuruk, di samping kasus gizi buruk, angka kematian ibu dan anak yang tinggi, peningkatan jumlah penderita gangguan jiwa, penyakit menular, dan kurangnya akses layanan kesehatan bagi penyandang cacat, masyarakat misldn, dan kelompok marjinal lainnya.
Proses legislasi ini sudah mengeluarkan biaya yang sangat banyak dan waktu kerja yang sangat panjang, dan masih belum terselesaikan. Hingga kini, wakil rakyat dan pengemban tanggung jawab kesehatan di negara ini belum juga mau mengesahkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Kesehatan.
Lebih dari seabad yang lalu, Ibu Kartini berjuang untuk memajukan bangsa dan posisi perempuan yang lebih manusiawi. Kini saatnya kita tidak lagi membiarkan keterpurukan bangsa dan status kesehatan perempuan di Indonesia. Bersama kita menagih janji DPR RI serta Menteri Kesehatan dan Menteri Hukum dan HAM untuk segera menyelesaikan pembahasan dan mengesah-kan Rancangan Perubahan Undang-Undang Kesehatan sebagai bukti konkret komitmen dan tanggung jawab terhadap pemenuhan hak rakyat atas kesehatan dan hak hidup yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar.
Pada peringatan Hari Kartini tahun ini, kita masih memprihatinkan angka kematian ibu yang tinggi dan kesehatan ibu yang buruk di Indonesia. Semoga perubahan UU Kesehatan bisa segera diselesaikan tahun ini.
Pustaka
Berbeda tetapi setara: pemikiran tentang kajian perempuan Oleh Saparinah Sadli,Imelda Bachtiar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar